Frans telah selesai mengenakan
gaun pengantin pada istrinya yang terbaring di tempat tidur. Dirapikannya
posisi berbaring istrinya. Sarung tangan tak lupa dipasangkan di tangan putih
milik istrinya. Kalung yang menjadi maharnya pun sudah melekat manis di dada.
Ah, ya… Wajah pucat Desi belum
didandani.
‘Walau Abang bukan seorang perias, Abang janji akan memberikan riasan
terbaik untukmu, Honey..’
Dengan ditemani cahaya lampu
tidur yang temaram, hati-hati Frans membubuhi bedak, sedikit eyeshadow hijau
berbaur kuning di kelopak mata, blush on di tulang pipi. Selesai, lantas
dikecupnya wajah Desi. Dahinya mengernyit. Ada yang kurang.
‘Abang lupa, Honey belum pakai parfum ya…’ Dan wangi bunga lili
milik Desi langsung memenuhi udara di seantero kamar. Wangi yang mengenangkannya pada kelembutan
seorang Desi.
Berulang kali Frans menyeka
peluhnya. Suhu 18 derajat tak cukup membantunya mengurai suhu ruangan yang
dirasa semakin panas.
Sekali lagi, dipandangi orang
yang baru setahun berbagi ruangan ini dengan dirinya. Meneliti ulang barangkali
ada yang masih tertinggal dari riasannya.
‘Pemerah bibir ini khusus untukmu, Honey. Pasti cantik sekali. Sekarang
tidak ada yang bisa mengambil Honey dari sisi Abang. Honey tidak perlu khawatir
akan diganggu lagi dengan pria sialan itu..’
Bercak darah yang mulai membeku
pun ia poleskan di bibir tipis Desi. Lalu dilemparkannya pisau yang ada di meja
rias itu ke kolong tempat tidur.
‘Detak jantung Honey hanya untuk Abang, ‘kan..’
Dipeluknya tubuh Desi yang
semakin dingin.
from google |
******
Gegara kepepet, bisa juga nulis cerpen bergenre ini..